Saturday, November 1, 2008

Anjing Kudisan
(Jakob Sumardjo)


Akhirnya rahasia perselingkuhanku terbongkar oleh keluarga. Topeng kemunafikan yang selama ini kupakai, menguakkan bopeng-bopeng di wajahku. Seluruh keluarga sakit hati akibat perselingkuhanku dengan anak gadis adik temanku sendiri. Terutama istriku, dia amat terluka. Berkali-kali ia mencoba bunuh diri. Tiba-tiba aku menjadi manusia yang bobrok dan busuk di tengah-tengah keluarga, terpuruk di lembah kekacau-balauan. Ternyata, untuk berselingkuh, memerlukan kiat-kiat dan staregi yang profesional. Diperlukan juga semacam ketegaran dan ketegasan dalam hal ilmu dusta, dan aku kurang terlatih dalam perkara ini.

Sebagai manusia yang jiwanya terjangkit kusta, maka aku menjadi manusia terbuang. Aku ditolak memasuki rumah sendiri. Kalaupun berhasil masuk, Istri dan keempat anakku langsung masuk kamar mereka dan menguncinya dari dalam. Atau mereka membiarkan aku dengan cara membisu satu sama lain, sehingga rumah menjadi seperti neraka bagi kami semua. Menyadari sebagai manusi najis, maka sepulanh dari kantor, aku selalu pulang malam dan lansung menuju rumah kosong di kompleks perumahan kami.

Rumah itu sudah lebih dari sepuluh tahun tidak dihuni oleh pembelinya. Dua daun pintunya telah rusak, tetapi di dalam masih ada sebuah kamar yang cukup hangat. Rasa dosa terhadap keluarga yang menjadikan diriku begitu kotor dan hina telah mempermudah untuk hidup dirumah kosong yang bobrok itu. Hidupku menjadi terbiasa dengan segala yang hina dan rendah. Segala yang kotor dan menjijikan. Semua itu dapat aku terima sebagai hukuman yang sepadan dengan segala perbuatanku selama ini. Aku merasa lebih rendah dari sekor anjing kudisan yang dibuang majikannya. Dan memang, ke dalam rumah itu, sering datang seekor anjing untuk tidur di situ. Mula-mula ia agak takut kepadaku, tapi karena aku bersikap ramah terhadapnya, maka ia menjadi jinak dan akhirnya kami menjadi semacam sahabat yang sama-sama hina, najis dan terbuang. Kalau aku terlelap tidur, kadang anjing itu kudapatkan tidur melingkar di arah kakiku. Karen aku jarang mandi, dan memang sudah tidak berhasrat lagi untuk merawat diri lagi, akibat perasaan hina seolah tak tertebuskan itu, yang telah menyebabkan seluruh keluargaku sakit hati oleh kelakuanku, maka bau badan dan bajuku tak jauh beberda dengan anjing. Prengus.

Pada suatu malam aku pulang ke rumah yang bobrok yang terpencil itu, dengan kepala yang pusing yang sudah beberapa hari ini menyerangku. Seluruh badan terasa panas. Demam. Menggigil. Udara dingin dalam kamar kosong yang berantakan itu tak kuasa meringankan panas badanku. Seluruh tubuh sampai jeroanku terasa panas membakar. Mungkin inilah saat-saat ajalku. Teteapi aku belum mau mati, karena rasa hina belum juga hilang dari jiwaku. Sebentar-sebentar mataku berkunang-kunang. Bau anjing amat kuat memenuhi ruangan. Tembok kamar yang gelap itu seperti miring mau menghimpitku. Lampu-lampu rumah tetangga yang agak jauh terlihat menari-nari. Terdengar salak anjing di kejauhan. Kamar gelap itu tiba-tiba terasa berputar. Akirnya, aku menyerah dan pasrah pada keadaan. Apapun yang terjadi, terjadilah. Juga mati sekalipun. Hal ini jiwaku sedikit tenang, tetapi panas badan dan pusing yang amat sangat masih terasa. Kepala semakin berat. Memberat. Akhirnya hanya kegelapan dan semacam ketidak sadaran menenggelamkan diriku. Kira-kira tengah malam aku hendak terbangun, antara sadar dan tidak sadar. Aku sekilas tahu bahwa aku berada di kamar sebuah rumah kosong. Tetapi tiba-tiba aku tenggelam lagi dalam dunia yang kukenal dan tak aku kenal. Tubuhku terasa sulit digerakan. Aku berhasil memicingkan mata, dan kulihat anjing itu melingkar tidur disampingku. Aku berusaha menggerakan badanku untuk membangunkan anjing itu, tetapi tak bisa. Berkali-kali kucoba, tak pernah berhasil. Rasa putus asa menyebabkan aku menyerah kepada keadaan. Aku tenggelam. Kegelapan. Demam. Berputar. Membisu menyerah. Tulang-tulang seperti terasa remuk.

Angin pagi terasa lembut menyentuh badanku. Aku menggeliat bangun. Pusing dan demam telah hilang sama sekali. Badan juga terasa ringan. Seolah drah segar telah dipompakan memasuki urat-urat nadiku. Kugerakan tanganku, menyentuh tembok dan suara garukan ringan terdengar. Lho, tangan yang tadinya kaku, masih terasa agak kaku, tetapi betapa kecil tangan ini dan berbulu hitam. Aku berdiri mendadak, dan lho, tidak bisa berdiri keatas. Kaki dan tanganku dipaksa memijak lantai. Kulihat sekeliling kamar yang kemarin-kemarin juga. Dalam kekagetan dan rasa cemas aku berusaha berbicara sendiri, yang hanya dengus anjing dari hidungku yang telah berubah menjadi anjing. Dan benar saja, anjing teman tidurku itu, telah juga terbangun. Ia mengibaskan ekornya. Kemudian menciumi mulutku. Bau anjing. Aku baru sadar bahwa anjing yang selama ini menemaniku tidur adalah anjing perempuan. Naluri kelaki-lakianku menggerakan hormon-hormon di sekitar alat kelaminku, persis sewaktu aku berpuluh-puluh kali menghadapi gadis tema selingkuhku. Heran, perasaan hina dan najis, rendah dan tak berarti rasa berdosa tak ada lagi. Semuanya itu boleh jadi seperti apa yang aku butuhkan. Syukurlah aku telah menjadi anjing. Tidak apa-apa, salkan tetap anjing laki-laki.

Anjing perempuan it trlihat manis juga. Malah menggairahkan. Selama ini aku hanya melihatnya sebagai seekor anjing, tetapi sekarang kulihat perbedaanya secara nyata. Ia benar-benar seksi. Perutnya masih langsing mengikuti gerak parabola ke arah pahanya yang kukuh. Naluri lelakiku megatakan bahwa dia masih perawan. Putting-putting yang banyak itu nampak membengkak. Dan, aduh-aduh, yang itu bengkak mekar. Naluri keanjinganku selama in hidup kembali dengan gairah menyala-nyala. Aku memang sudah anjing, dan sekarang anjing beneran. Tunggu apa lagi, aku mendekatinya dan menjilatinya…

Kami berbaring lemas berdampingan di kamar kosong itu. Betapa dahsyat menjadi anjing. Belum pernah aku menggauli perempuan dapat begitu lamanya. Dunia manusia memang berbeda dengan dunia anjing. Juga dalam kehidupan perkelaminannya. Tidak ada manusi yang mampu berbuat seperti anjing dalam perkara yang satu ini. Benar-benar menguras tenaga. Dan itulah pengalaman pertamaku sebagai anjing. Sebenarnya bukan pengalaman pertama juga, sebab ketika menjabat sebagai manusia, tabiat seperti itu sudah sering aku lakukan berkali-kali pula. Hanya intensitasnya yang berbeda. Batas antara anjing dan manusia, dalam hal ini, kukira, tak jauh berbeda.

Perut terasa kosong. Anjing perempuanku itu mengajaku keluar untuk acr makan. Tetapi aku menolaknya. Akiu baru mau keluar kalau hari sudah gelap. Sebagai anjing baru, aku masih cukup kuat rasa malunya. Perasaan berdosa memang sudah tak ada padaku, tetapi malu terlihat sebagai anjing masih ada. Rupanya perasaan bersalah itu pula yang menyebabkan aku bermetamorfose menjadi anjing sungguhann. Maka aku izinkan anjing perempuanku keluar mencari makanannya sendiri. Aku mmlih tidur di pojok kamar.

Ketika hari sudah gelap, aku terbangun. Anjing perempuanku belum juga pulang. Aku beranikan diri keluar rumah. Badan kugerakan kuat-kuat, kepala kukibas-kibaskan, terasa enakan. Udara dingin telah menjalari seluruh kompleks perumahan. Aku berlari-lari anjing menuju jalan besar. Jalanan sepi. Kulihat beberapa ekor anjing sesamaku berlari-lari menuju ke arah bawah perumahan. Memang, di sana ada tempat pembuangan sampah, aku berlari mengikuti mereka. E, anjing-anjing itu bukannya menari makan di tempat sampah. Mereka mengerubuti anjing perempuanku. Rupanya ini memang musim kawin anjing. Melihat aku datang, anjing lelaki itu menggeram padaku. Kaget dan kehilangan nyali pula aku, pada awal mulanya. Segera aku sdar bahwa aku anjing mantan manusia. Pendidikan S-1. dan aku bekas murid persilatan gaya Cikalong. Anjing-anjing tak berpendidikan itu tentu bukan apa-apa bagiku.

Benar saja, begitu aku mendekati mereka, dua ekor anjing berlari menyerangku. Ilmu silatku kugunakan. Aku mengelak untuk membanting anjing-anjing itu, mereka terjerembab oleh kekuatnya sendiri yang penuh nafsu mereka kerahkan. Begitu terjerembab, aku gigit tengkuk mereka. Anjing-anjing itu berlarian menjauh. Begitu pula dengan anjing-anjing yang lain. Anjing perempuanku melirik padaku sembari menyantap sisa mie Jawa di tempat sampah. Rupanya diam-diam ia membanggakan diriku sebagai pelindungnya yang sejati. Ia mendengus menciumi hidungku. Selesai menghabiskan makanan, ia aku suruh pulang duluan. Anjing-anjing lekai itu tentu tak akan berani menggagunya lagi.

Tempat sampah memang gudang makanan. Di situ kudapatkan sisa sate dan gulai yang menjadi makanan kegemaranku ketika masih menjabat sebagai manusia. Memang da kios roda sate dan gulai di perempatan perumahan. Setelah kenyang makan enak, aku sengaja lewat di depan rumahku dahulu. Terharu juga melhat rumah itu. Di dalam ada istri dan anak-anakku yang selama itu mempercai dan menghormatiku, sampai saat terbongkarnya penyelewenganku. Rumah itu tampak tenang dan damai. Rupanya mereka telah merelakan kehilangan suami dan ayah yang bejat seperti diriku. Aku buang kenangan itu. Aku kembali menyadri bahwa aku kini anjing.

Sambil berlari-lari kecil aku melewati rumah Pak Beni. Tiba-tiba aku mencium aroma anjing perempuan yang sedang berahi.

Aku ingat, Pak Beni memang beberapa bulan yang lalu membeli anjing ras. Semakin dekat rumah Pak Beni, semakin keras aroma itu merangsang naluri kelakilakianku, dan benar saja, anjing perempuan itu berada di halaman belakang. Ketika aku mencari jalan menerobos masuk ke halaman belakang itu, tiba-tiba segerombol anjing lelaki menerobos keluar melaluiosela-sela pagar. Rupanya, mereka adalah anjing-anjing di tempat sampah itu. Dengan lenggang gagah aku dekati anjing perempuan jenis Rottweiler yang berhidung pesek itu. Meskipun hidungya pesek, tapi anjing perempuan itu nampak sehat dan kuat. Kamipun segera terlibat permainan kelamin.

Heran juga, begitu kuat aku sebagai anjing jantan. Dalam sehari telah dua anjing kugauli.
Dan tak ada rasa berdosa sama sekali. Semua berjalan wajar-wajar saja. Malah membanggakan. Di kalangan bangsa anjing, rupanya tak ada kamus selingkuh. Selingkuh itu hanya ada pada dunia manusia. Itu karena manusia menjunjung tinggi apa yang mereka sebut nilai-nilai. Antara lain nilai perkawinan. Selingkuh itu erat hubungannya dengan nilai perkawinan. Perjanjian suci perkawinan antara manusialah yang menyebabkan timbulnya rasa bersalah pada perselingkuhan. Manusia bujagan tidak pernah dinilai selingkuh meskipun di aberkali-kali mengauli banyak perempuan seperti yang dilakukan bangsa anjing.

Dengan langkah-langkah gontai aku pulang ke rumah. Lemas tapi puas. Kutemui anjing perempuanku sedang tiduran. Mendengar kedatanganku, dia terjaga sebentar dan membaui apa yang telah aku lakukan barusan. Dia cuek-cuek saja. Itu sudah tabiat anjing lelaki, mungkin begitu pikirnya. Aku mendesakan diriku pada anjing perempuan itu, dan tidur berdampingan. Inilah kebahagian menjadi anjing.

Hari-hari berikutnya, tak ada yang harus dikerjakan bangsa anjing. Anjing tak perlu bekerja. Kerjanya hanya mencari makan dan perempuan. Hampir semua anjing perempuan di kompleks itu telah kugauli, baik yang pernah punya anak maupun yang perawan. Semuanya aku lakukan pada malam hari. Memang pernah juga siang hari, akibatnya kami ketahuan dan kepergok anak-anak. mereka melempari kami dengan batu. Beberapa bagian badanku dan kepala memar dan luka-luka.

Luka-luka itulah yang kemudian membuatku mengalami demam tinggi dan pusing lagi. Seperti kemarin dulu ketikak aku metamorfosa menjadi anjing, begitu pula kini kurasakan. Seluruh badanku ngilu. Mata penuh kunang-kunang lagi. Perut terasa mual yang amat sangat. Lampu tetangga bergoyang-goyang. Berputar. Tembok doyong mau roboh. Gelap, pekat. Putaran semakin deras. Menyerah kalah. Gelap. Gelap. Sunyi. Sulit bergerak. Seluruh tulang seperti kaku. Terasa aku punya tangan dan kaki lagi yang dapat berdiri, tetapi sulit sekali tangan dan kaki ini digerakan. Aku memicingkan dalam kesekan nafasku. Sekilas kulihat anjing perempuanku merintih menangisi diriku. Seperti takut aku tinggalkan. Aku menyadari, bahwa kala saja aku dapat berteriak dan sekuat tenaga menggerakan kaki atau tanganku, maka aku sebagai manusia kembali.

Tetapi mengapa belum aku lakukan juga?

BUNGA RUMAH MAKAN

BUNGA RUMAH MAKAN
Karya : UTUY T. SONTANI

Pertunjukan Watak Dalam Satu babak

Diketik ulang dari Naskah Terbitan
Perpustakaan Perguruan Kementrian P.P. DAN K.
Jakarta 1954
PARA PELAKU
1. Ani, gadis pelayan rumah makan “Sambara”
2. Iskandar, pemuda pelancong
3. Sudarma, yang punya rumah makan “Sambara”
4. Karnaen, pemuda anak Sudarma
5. Usman, kyai kawan Sudarma
6. Polisi
7. Suherman, pemuda kapten tentara
8. Rukayah, kawan Ani
9. Perempuan yang belanja
10. Pengemis
11. Dua pemuda pegawai kantoran

Panggung merupakan ruangan rumah makan, dialati oleh tiga stel kursi untuk tamu, lemari tempat minuman, rak kaca tempat kue-kue, meja tulis beserta telepon, radio dan lemari es. Pintu ke dalam ada di belakang dan pintu keluar ada di depan sebelah kiri.

ADEGAN 1
KARNAEN : (duduk menghadap meja tulis, asyik menulis).
ISKANDAR : (masuk dengan rambut kusut dan langkah gontai, memandang ke arah pintu ke belakang).
KARNAEN : (berhenti menulis). Ada keperluan apa, saudara?
ISKANDAR : Tidak! (pergi keluar).
KARNAEN : (heran memandang, kemudian melanjutkan menulis).

ADEGAN 2
KARNAEN : (berdiri). An! Ani!
ANI : (dari dalam). Ya, mas!
KARNAEN : Sudah selesai berpakaian?
ANI : (tampil). Sudah lama selesai, mas.
KARNAEN : Tapi mengapa diam saja di belakang?
ANI : Saya membantu pekerjaan koki.
KARNAEN : Who, engkau turut masak?
ANI : Tidak mas, hanya memasak air. Timbangan diam tidak ada kerja, supaya tidak merasa kesal.
KARNAEN : Tapi akupun suka melihat engkau masak, An. Apalagi karena dengan begitu, engkau akan kian jelas kelihatan sebagai wanita yang akan jadi ratu rumah tangga.
ANI : (pergi mengambil lap di atas gantungan). Ah, mas, bila mendengar perkataan ..rumah tangga” saya suka gemetar. Saya masih suka bekerja seperti sekarang ini. (mengelap radio).
KARNAEN : Sampai kapan engkau berpendirian demikian, An?
ANI : (tetap mengelap radio, membelakangi Karnaen). Saya bukan Tuhan mas, tak dapat menetapkan waktu. (melihat kearah Karnaen). Kita setel radionya, ya mas?
KARNAEN : Ah, di pagi hari begini tidak ada yang aneh. (melangkah mendekati Ani). Dan daripada mendengar radio aku lebih suka mendengar engkau menceritakan pendirianmu. Engkau lebih senang jadi pelayan daripada mengurus rumah tangga, An?
ANI : (berdiam perlahan-lahan menjauhi Karnaen). Saya tidak mengatakan, bahwa saya lebih senang jadi pelayan daripada mengurus rumah tangga, mas. Tapi saya belum hendak memikirkan berumah tangga, sebab sayamasih senang bekerja.
KARNAEN : Tapi, An, ketika engkau dulu kubawa kesini keinginanku bukan hanya melihat engkau jadi pelayan di sini saja. Aku ingin melihat engkau menjadi wanita yang sungguh-sungguh wanita. Dan wanita yang kumaksudkan itu, ialah wanita yang cakapmengurus rumah tangga.
ANI : (terkulai menundukkan kepala). Mas, saya tiada mempunyai perkataan untuk menyatakan terima kasih atas kebaikan budi mas, sudah membawa saya kesini. Tapi, ketika saya datang disini dulu, saya tiada ingin lebih dari jadi pelayan, jadi pegawai sebagaimana kesanggupannya orang miskin didalam mencari sesuap nasi.
KARNAEN : (terdiam memalingkan muka).
TELPON (berbunyi)
ANI : (memandang kearah telpon).
KARNAEN : Tentu dari kapten Suherman, untukmu, An.
ANI : (melangkah menuju meja tulis, tapi baru dua langkah berhenti lagi). Barangkali untukmu, mas.
KARNAEN : (memandang Ani, kemudian segan menuju meja tulis, mengangkat telpon). Ya, di sini rumah makan Sambara. Tuan Sudarma belum datang. Saya anaknya. Ya. (telepon diletakkan, terus bermenung lalai.
ANI : (membelakangi Karnaen, mengelap rak)

ADEGAN 3
PEREMPUAN YANG BELANJA (masuk membawa kantong besar diisi barang belanjaan).
ANI : O, nyonya! Silakan masuk. (menghampiri, lalu meraba-raba kantong). Rupanya baru pulang dari pasar, ya? Oh! Nyonya membeli sandal juga. Berapa harga sandal begitu, nyonya?
PEREMPUAN : Tiga rupiah. Mahal , nona. Saya beli karena saya butuh saja. (mengeluarkan sandal dari kantong, memperlihatkan sandal kepada Ani).
ANI : Tapi kuat dan bagus nyonya. Berani saya membeli tiga rupiah. (memberikan lagi sandal).
PEREMPUAN : Saya pilih yang begini, sebab saya sudah tua. Untuk kaki nona tentu saj mesti lebih bagus dari ini. Dan saya lihat tadi di sana memang ada yang cocok sekali dengan kecantikan nona.
ANI : (setelah terdiam sejenak). Eh, kopi susu atau susu coklat yang mesti saya sajikan untuk nyonya?
PEREMPUAN : Saya hendak membeli manisan belimbing. Masih ada?
ANI : O, ada, nyonya. Berapa puluh?
PEREMPUAN : Dua puluh saja, lebih dari dua puluh, uangnya tidak cukup.
ANI : (pergi ke tempat kue-kue, mengambil, menghitung dan membungkus manisan belimbing).
KARNAEN : (berjalan kea rah pintu keluar).
ANI : Hendak kemana, mas?
KARNAEN : Ada perlu dulu sebentar. (terus keluar).
ANI : (memberikan bungkusan kepada perempuan). Hanya ini saja nyonya?
PEREMPUAN : (memberikan uang). Ya, ini saja. Betul satu rupiah?
ANI : Betul nyonya. (menerima uang). Terima kasih.
PEREMPUAN : Terima kasih kembali.
ANI : Mau terus pulang saja nyonya?
PEREMPUAN : Betul. Maklum di rumah banyak kerja. (tiba-tiba memandang Ani, terus menghela nafas). Ah, sayang anak saya yang laki-laki sudah meninggal dunia.
ANI : Mengapa nyonya?
PEREMPUAN : Kalau dia masih hidup,… ya kalau dia masih hidup, mau saja memungut nona sebagai menantu.
ANI : Ah!
PEREMPUAN : Sudah, ya. Permisi. (berjalan keluar).
ANI : Selamat bekerja di rumah, nyonya.(mengantar sampai ke pintu).


ADEGAN 4
ANI : (pergi ke belakang sambil bernyanyi-nyanyi).
PENGEMIS : (masuk perlahan-lahan dengan kaki pincang, melihat kekiri kekanan, ke rak tempat kue-kue, kemudian menuju rak itu dengan langkah biasa, tangannya membuka tutup toples hendak mengambil kue).
ANI : (tampil dari belakang). Hei! Engkau mau mencuri ya!
PENGEMIS : (cepat menarik tangan, menundukkan kepala)
ANI : Hampir, tiap engkau datang disini, engkau kuberi uang. Tak nyana, kalau sekarang engkau berani berani datang di sini dengan maksud mencuri.
PENGEMIS : Ampun, nona, ampun.
ANI : Ya, kalau sudah ketahuan, minta ampun.
PENGEMIS : Saya tak akan mencuri, kalau saya punya uang.
ANI : Bohong!
PENGEMIS : Betul, nona, sejak kemarin saya belum makan.
ANI : Mau bersumpah, bahwa engkau tak hendak mencuri lagi?
PENGEMIS : Demi Allah, saya tak akan mencuri lagi, nona. Asal…
ANI : Tidak. Aku tidak akan memberi lagi uang padamu.
PENGEMIS : (sedih). Ah, nona, kasihanilah saya..
ANI : Tapi, mengapa tadi kau mau mencuri?
PENGEMIS : Tidak, nona, saya tidak akan sekali lagi. Kan saya sudah bersumpah. Ya, saya sudah bersumpah.
ANI : (mengambil uang dari laci meja). Awas, kalau sekali lagi kamu mencuri!

ADEGAN 5
SUDARMA : (masuk menjinjing tas, melihat kepada pengemis). Mengapa kau ada di sini? Ayo keluar!(kepada Ani). Mengapa dia dibiarkan masuk, An?
ANI : Hendak saya beri uang.
SUDARMA : Tak perlu. Pemalas biar mati kelaparan. Toh dia datang hanya mengotorkan tempat saja.
ANI : (melempar uang kepada pengemis). Nih! Lekas pergi.
PENGEMIS : Terima kasih nona, moga-moga nona panjang umur.
SUDARMA : Ayo pergi. Jangan kau mendongeng pula. Lekas dan jangan datang lagi disini!
PENGEMIS : (pergi keluar dengan kaki pincang).
SUDARMA : Lain kali orang begitu usir saja, An. Jangan rumah makan kita dikotorinya (dengan suara lain). Tak ada yang menanyakan aku?
ANI : Ada, tapi entah dai mana. Karnaenlah yang menerima telponnya tadi.
SUDARMA : Anakku sudah biasa lalai. Barusan dia ketemu di jalan, tapi tidak mengatakan apa-apa. (mengangkat telpon). Sembilan delapan tiga.
ANI : (mengelap kursi).
SUDARMA : (kepada Ani). Meja ini masih kotor, An.
ANI : (mengelap meja).
SUDARMA : (dengan telpon). Tuan kepala ada?-Baik-baik, (menunggu). Waaah, kalau sudah banyak uangnya lama tidak kedengaran suaranya, ya? -Ini Sudarma, bung. -Ha ha ha, betul! Biasa saja, menghilang sebentar untuk kembali berganti bulu. (tertawa). -Tapi bung, bagaimana dengan benang kanteh yang dijanjikan itu? -Ya, ya, benang kanteh. -Ah, ya! -Bagus, bagus. Lebih cepat, lebih nikmat.-Ya, ya, sebentar ini juga saya datang. Baik, baik. (telpon diletakkan, kepada Ani). Aku hendak pergi ke kantor pertemuan. Kalau ada yang menanyakan, baik perantaraan telpon atau datang, tanyakan keperluannya lalu kau catat, ya An? (melangkah).
ANI : Ya.
SUDARMA : Eh, jika nanti Usman datang disini, suruh dia menyusul aku ke kantor pertemuan. Dan engkau jangan bepergian.
ANI : Baik.
Sudarma : (pergi keluar).

ADEGAN 6
ANI : (menyetel radio, membuka majalah melihat-lihat isinya).
USMAN : (masuk). Mana tuan Sudarma, An?
ANI : (mengendurkan radio). Barusan pergi ke kantor pertemuan, paman.
USMAN : Who, katanya dia akan menunggu aku disini.
ANI : Ada juga pesannya kepada saya, supaya paman menyusulnyake kantor pertemuan.
USMAN : Dia itu, lepas sebentar saja dari mata, sudah sukar dikejar.
ANI : Sejak dari mana paman mengejar dia?
USMAN : Mulai dari rumahnya kami bejalan bersam-sama. Tapi ditengah jalan, dia meninggalkan. Katanya mau menunggu aku di sini. Begitulah mertuamu, An!
ANI : (berdiri). Mertua saya?
USMAN : Akan jadi mertuamu maksudku.
ANI : Tapi, paman, dari mana datangnya anggapan itu?
USMAN : Tidak dari mana-mana, hanya menurut kepantasan saja dan kebiasaan dalam pergaulan hidup. Menurut kepantasan, siapa berani berani mengatakan tidak pantas engkau jadi istri Karnaen. Menurut kebiasaan, engkau dan Karnaen itu sudah bergaul rapat sekali, bukan?
ANI : (menutup siaran radio). Tapi, paman…
USMAN : Ah, pendapat orang tua tak usah kau bantah. Tapi betul tadi tuan Sudarma menyuruh aku menyusul?
ANI : Ya.
USMAN : Ke kantor pertemuan katamu?
ANI : Betul.
USMAN : Biar hendak kususul kesana. (berjalan keluar).

ADEGAN 7
ANI : (menghela nafas, melangkah menuju pintu keluar seraya meninju-ninjukan kepalan tangan kanan kepada tangan kiri, di pintu, berdiri, melihat keluar; setelah menghela nafas, berjalan lagi menuju meja tulis;duduk di atas kursi, sebentar kemudian sudah berdiri lagi, terus merenung; cepat memandang ke arah telpon, tangannya diulurkan kesana, tapi cepat ditarik lagi, terus merenung menggigit-gigit bibir; lama dulu baru mengulurkan lagi tangan ke arah telpon dan sekali ini terus mengangkatnya). -Minta disambung dengan tiga tiga lima sembilan. (menunggu). Asrama Batalyon Lima disini? Minta bicara dengan tuan kapten Suherman.- sudah pergi? – o, tidak, tidak penting. Katakana saja dari Ani, dari rumah makan Sambara.- ya.- terima kasih. (telpon diletakkan).

ADEGAN 8
ANI : (merenung bersandar kepada meja tulis)
PEMUDA PEGAWAI KANTORAN (masuk berdua)
PEMUDA 1 : Selamat pagi!
ANI : Selamat pagi.
PEMUDA 1 : (kepada kawannya). Kau mau minum apa?
PEMUDA 2 : Kita mau minum? Apa tidak akan terlambat ke kantor nanti?
PEMUDA 1 : Ah, masih pagi. (duduk di kursi). Susu saja ya?
PEMUDA 2 : Terserah.
PEMUDA 1 : (kepada Ani). Minta susu dua gelas nona.
ANI : (pergi ke belakang).
PEMUDA 2 : Kau bilang dia menggembirakan. Mana menggembirakannya?
PEMUDA 1 : Aku juga tidak mengerti, mengapa dia sekarang sedingin itu. Kemarin dia lain lagi kelihatannya.
PEMUDA 2 : Rupanya harus kita yang memulai.
PEMUDA 1 : Tapi sedingin itu aku tak sanggup.
PEMUDA 2 : Dia malu, masih kanak-kanak.
PEMUDA 1 : Ah, masa sebesar itu kanak-kanak.

ADEGAN 9
ISKANDAR : (masuk, melihat kepada tamu-tamu, lalu duduk di kursi).
ANI : (tampil membawa baki diisi dua gelas susu; melihat kepada Iskandar, lantas mempercepat langkah menuju meja yang dihadapi pemuda-pemuda). Kuenya apa, saudara? Tartyes atau lapis legit?
PEMUDA 1 : Mana yang lebih enak?
ANI : Yang lebih enak tentu yang lebih mahal harganya.
PEMUDA 1 : Tapi anehnya saya ini tidak suka kepada yang enak.
ANI : Mengapa?
PEMUDA 2 : Sebab dia bukan manusia biasa, nona. Keluarbiasaannya ialah, kalau nona sudah satu kali kenal dengan dia, maka dia….
PEMUDA 1 : Ya, nanti saya akan menelpon kesini. Asal saya sudah diberi tahu nama nona dan nomor telpon di sini.
ANI : Tapi saya hanya mau menerima, bila yang dibicarakan dalam telpon itu sungguh-sungguh penting.
PEMUDA 2 : Itulah pula keanehan nona! (kepada kawannya). Tinggal kau tanyakan saja apa yang ditafsirkan “penting” oleh nona itu.
ISKANDAR : (pergi keluar).
ANI : (memperhatikan Iskandar).
PEMUDA 1 : Ya, apa gerangan, nona, yang penting untuk nona itu?
ANI : Ah, saya tidak tahu. (mengundurkan diri, pergi ke belakang).
PEMUDA 2 : Jinak-jinak merpati!


PEMUDA 1 : Dan itulah yang menggembirakan hatiku.
PEMUDA 2 : Hendak kau telpon kesini nanti?
PEMUDA 1 : Ah, jangan dulu. Jangan tergesa-gesa.
PEMUDA 2 : Engkau masih takut.
PEMUDA 1 : (minum gembira).

ADEGAN 10
SUHERMAN : (masuk). An!
PEMUDA-PEMUDA (memandang kepada yang datang).
ANI : (tampil). Oh, mas Herman. (gembira mendapatkan). Barusan tadi saya telpon mas ke asrama.
SUHERMAN : O, ya?
ANI : Saya tak sabar menunggu, mas, padahal susu untukmu sudah lama kusediakan. Saya takut kalau-kalau mas tidak akan datang.
SUHERMAN : Kapan aku dusta padamu, bungaku?
ANI : Sampai sekarang belum pernah.
SUHERMAN : Tapi setelah aku datang disini, tak hendak aku kau beri minum, agar jasmaniku segar menghadapi engkau?
ANI : Ah, maaf, mas. Hampir saja lupa karena kesangatan gembira. Tapi karena sudah sejak tadi disediakan, mas tak akan lama menunggu. (pergi kebelakang).
PEMUDA 1 : (berisyarat kepada kawannya menyuruh lekas menghabiskan susu).
PEMUDA 2 : (minum menghabiskan susu).
SUHERMAN : (duduk di kursi).
ANI : (tampil membawa baki diisi gelas susu).
PEMUDA 1 : (mencegat). Berapa nona?
ANI : Oh! Apa yang telah dimakan, saudara?
PEMUDA 1 : Hanya minum susu dua gelas.
ANI : Satu rupiah.
PEMUDA 1 : (memberikan uang).
ANI : (menerima uang). Terima kasih.
PEMUDA 1 : Terima kasih kembali (kepada kawannya). Mari!
PEMUDA 2 : (berjalan mengiringkan kawannya keluar).


ADEGAN 11
ANI : (mendapatkan Suherman). Ini saya sendiri yang bikin, mas, bukan koki.
SUHERMAN : (hendak menyalakan api untuk rokok). Bagus!
ANI : Bolehkah saya menyalakan api, mas?
SUHERMAN : Tentu, saja, bungaku.
ANI : (menyalakan api, membakar rokok di bibir Suherman).
SUHERMAN : Tak bosan aku memandang wajahmu.
ANI : Tapi kapan mas akan menepati janji mengajak saya jalan-jalan?
SUHERMAN : (minum dulu). Janji seorang tentara adalah janji yang tidak kosong. Tapi waktunya belum mengijinkan.
ANI : Banyak pekerjaan, mas?
SUHERMAN : Ya, dan pekerjaan tentara diikat oleh disiplin.
ANI : Tapi, mas gembira saja ya? Barangkali karena sudah banyak yang dilihat. (duduk didepan Suherman). Jika mas belum sempat membawa saya jalan-jalan, dapatkah mas sekarang bercerita kepada saya sebagai gantinya jalan-jalan?
SUHERMAN : Bercerita? Tapi cerita tentang apa?
ANI : Tentang….. ya, misalnya tentang tempat-tempat yang sudah mas datangi, yang menggembirakan mas. Biar saya turut gembira karena mendengarkan.
SUHERMAN : Tempat yang menggembirakan? Hm, ya, aku sudah pergi ke utara sampai ke pantai, ke selatan memasuki rimba, ke barat, ke timur, dan mendapat tempat yang paling menggembirakan di….. coba terka! Di mana?
ANI : Di mana, mas?
SUHERMAN : Di sini, sebab disini ada engkau!
ANI : Jika begitu, tidak usah saja pergi dari sini?
SUHERMAN : Pergi dari sini bagaimana?
ANI : Ah, mas, seringkali saya ingin pergi, sebab seringkali saya merasa kesal. (menundukkan kepala). Bagaimana, mas, supaya saya tidak kesal?
SUHERMAN : (memegang dagu Ani, menegakkan mukanya). Sekarang kesal juga berhadapan dengan aku?
ANI : Ti.. tidak.
SUHERMAN : Tersenyumlah, supaya akupun tidak kesal memandanginya.
ANI : (tersenyum).
SUHERMAN : Hm, siapa bilangengkau tidak indah? Segar rohaniku menghadapi engkau.
ANI : Tapi……. Akan sering mas menengok saya?
SUHERMAN : Sudah pasti, bungaku!
ANI : Dan janji tentara adalah….
SUHERMAN : (berdiri) janji yang tidak kosong.
ANI : Saya percaya.
SUHERMAN : Tapi pula tentara mesti selalu berdisiplin. Sekarang juga aku tak akan lama diam disini. (minum menghabiskan susu).
ANI : Nanti datang lagi disini?
SUHERMAN : (memberikan uang). Tentu.
ANI : Jam berapa?
SUHERMAN : Takkan sampai menjelang satu jam. Asal kewajibanku sekarang selesai dilakukan, aku datang lagi dan ada lagi dihadapanmu.
ANI : Dan janji tentara adalah….
SUHERMN : (memegang dagu Ani). Janji yang tidak kosong. (berjalan, di pintu berdiri memandang Ani). Kutinggalkan dikau bungaku. Segarlah, jangan layu sebelum dipetik! (keluar).
ANI : (mengikut sampai pintu).

ADEGAN 12
ANI : (menyimpan gelas bekas susu kebelakang, masuk lagi membersihkan meja dan kursi sambil tidak berhenti-henti menyanyi).
RUKAYAH : (masuk). Gembira sekali pagi ini, An!
ANI : Apa tidak boleh manusia bergembira lantaran ada harapan?
RUKAYAH : Oh, engkau rupanya hendak mengajak aku berfilsafat. Tapi harapan dari mana, An?
ANI : Dari orang, Ruk. Dari orang yang mengerti kepada keinginanku.
RUKAYAH : O, ya? Siapa gerangan orangnya?
ANI : Tak usah kau tahu.
RUKAYAH : Oi, agak degil pula engkau ini, ya?
ANI : Degil atau tidak degil, tapi aku tak akan mengatakannya. Walaupun begitu, namun keteranganmu sebagai kawanku sangat kubutuhkan.
RUKAYAH : Keterangan apa?
ANI : Apa artinya, Ruk, bila perempuan ingin menyerahkan segenap raga dan jiwanya kepada laki-laki?
RUKAYAH : Oh, engkau sudah sampai kesana? Itu sama saja dengan dua kali dua yaitu empat, perempuan ingin menyerahkan raga dan jiwanya kepada laki-laki, yaitu …cinta..! patut mkemerah-merahan.
ANI : Betul kemerah-merahan?
RUKAYAH : Sangkamu engkau dapat menyembunyikan isi hati?
ANI : Ah, kukira kebahagiaanku hanya impian, takkan sampai kelihatan orang lain.
RUKAYAH : Siapa laki- lakinya, An?
ANI : Tidak akan kusebutkan. Belum waktunya.
RUKAYAH : Cantik? Jantan?
ANI : Itu bukan soal untukku. Yang membahagiakan aku ialah lantaran dia mengerti kepada keinginanku.
RUKAYAH : Aku mengiri juga padamu. Tapi…
ANI : Tapi apa?
RUKAYAH : Ah, tidak.
ANI : Katakan, Ruk. Katakan!
RUKAYAH : Ingin aku bertanya, apa kehendak menyerahkan raga dan jiwa kepada laki-laki itumenurut perasaan saja, atau juga menurut pikiran. Sebaba menurut pendapatku cinta itu baru benar, jika pikiran turut menghitungnya.tapi ini hanya pendapatku saja. An, pendapat seorang perempuan yang tak mau dipandang lebih rendah oleh laki-laki, oleh umat yang umumnyamemandang hidup dengan pikiran. Kalau aku menghadapi laki-laki dengan perasaan saja, alamat akan celakalah aku sebagai perempuan.
ANI : Jadi menurut engkau, laki-laki itu dianggap….
RUKAYAH : Musuh tapi kawan!
ANI : Aku belum kesana,Ruk
RUKAYAH : Tak usah, nanti seperti aku, sukar mendapat tunangan, sehingga sekarang juga….. ya sekarang aku mengiri padamu. Sungguh, aku mengiri. An, aku takut, kalau-kalau engkau sejak sekarang takkan lagi jadi kawanku.
ANI : Ah, masa, Ruk. Aku sekarang masih juga aku yang kemarin.
RUKAYAH : Bohong! Engkau sekarang sudah jadi kepunyaan laki-laki itu. (berjalan). Sudahlah! Nanti kita bersua lagi.
ANI : Nanti dulu! Engkau mau kemana? Tergesa-gesa benar.
RUKAYAH : Hendak menegok dulu tempat untuk rapat nanti.
ANI : Nanti kesini lagi?
RUKAYAH : Selama engkau disini, belum dibawa laki-laki itu, tentu aku kesini.(terus berjalan keluar).

ADEGAN 13
ANI : (merenung).
ISKANDAR : (masuk, berdiri memandang Ani).
ANI : (terkejut, tegak memandang Iskandar). O, engkau yang…… selalu datang disini bukan untuk belanja?
ISKANDAR : (duduk di atas meja). Ya, aku datang disini bukan untuk belanja, tapi untuk……. Menengok, melihat engkau.
ANI : Untuk menakutkan aku!
ISKANDAR : (tersenyum pahit). Terima kasih.
ANI : Apa terima kasih?
ISKANDAR : Karena aku kau takut. Aku tahu bagimu aku memang bukan seperti laki-laki yang banyak.
ANI : Ya, tidak seperti yang banyak, tidak tahu adat kesopanan, duduk bukan ditempatnya duduk.
ISKANDAR : (merokok).Aku manusia merdeka.
ANI : Tapi disini rumah makan, bukan kebun tempat pelancong berbuat semaunya.
ISKANDAR : Pelancongan? Hm, orang boleh berkata sesuka hatinya. Tapi bagiku, lebih baik aku disebut pelancongan daripada seperti engkau diam disini untuk bermain sandiwara, mendagangkan kecantikan, menipu laki-laki, supaya mau belanja kesini.
ANI : Berani pula engkau menghina aku!
ISKANDAR : Maunya engkau hanya dipuji saja.
ANI : Perduli apa untukmu?
ISKANDAR : Sangkamu aku seperti mereka, datang disini untuk minum karena ditipu oleh kecantikanmu?
ANI : Tutup mulutmu!
ISKANDAR : Tidak! Selama bibirku melekat pada badanku, aku berhak berkata kepadamu.
ANI : Hak? Hak apa? Memangnya aku ini kerabatmu yang boleh kau hina? Memangnya rumah makan ini rumahmu, tempat engkau berkata dan berbuat semaunya terhadap orang lain? Ya, aku tahu, engkau menaruh dendam kepadaku, sebab kau cinta kepadaku, tapi tak sanggup mengatasi laki-laki lain, lantaran engkau tidak bekerja, kecuali mondar-mandir mengukur jalan.
ISKANDAR : (bangkit berdiri). Apa? Aku cinta padamu? Hh, memangnya aku ini buta? Sangkamu aku suka melihat kecantikanmu? Bah! Apa arti wajahmu.
ANI : Lekas pergi! Tak sudi aku melihat mukamu. Dasar lancongan. Tak tahu adat. Gampang saja membuka mulut.
ISKANDAR : Engkau yang gampang membuka mulut memainkan bibir. Kau sangka bibirmu itu dipandang bagus oleh semua orang?
ANI : Pergi! Pergi!
ISKANDAR : Tidak!
TELPON (berbunyi).
ANI : (cepat mengangkat telpon). Ya, disin rumah makan Sambara. –Tidak ada tuan, belum datang (telpon diletakkan, terus kepada Iskandar). Ayo pergi! Aku benci melihat kau.
ISKANDAR : (diam memandang).
ANI : Engkau tak akan pergi?
ISKANDAR : Tidak, sebelum aku sendiri yang mau.
ANI : Engkau rupanya bukan pelancongan saja, tapi setengah matang. Kau kira siapa yang lebih berkuasa disini, engkau atau aku?
ISKANDAR : Hh, mentang-mentang jadi pelayan, hendak mengaku berkuasa. Engkau tidak berkuasa disini, tapi engkau disini dibelenggu, diperbudak. Cis! Katanya saja manusia itu merdeka, tak tahunya kecantikannya sendiri jadi kedok yang membelenggu, menyuruh dia disini mendustai diri sendiri dan menipu orang lain…

ADEGAN 14
KARNAEN : (masuk). Ada apa, An? Kedengarannya ribut.
ANI : Dia orang setengah malang, mas. Datang disini untuk menghina mengejek saja.
KARNAEN : Suruhlah dia pergi dari sini.
ANI : Sudah, tapi dia tak mau pergi.
KARNAEN : (kepada Iskandar). Saya minta dengan sangat, supaya saudara pergi meninggalkan tempat ini.
ISKANDAR : Perlu apa saudara turut campur?
KARNAEN : Saya orang disini.
ISKANDAR : Tapi saya tidak berurusan dengan saudara. Saya berurusan dengan dia.
KARNAEN : Dari itu, kalau saudara berurusan dengan dia, berarti saudara berurusan pula dengan saya, sebab saya pelindung dia.
ISKANDAR : Patut!
KARNAEN : Apa?
ISKANDAR : Patut jadi pelindung dia, sedap muka saudara tak sedap di mata.
KARNAEN : Engkau di sini rupanya mencari perselisihan ya? Kalau begitu, atas nama ketertiban rumah makan ini, engkau kuusir, mesti pergi sekarang juga. Jika tidak, nanti kupanggil polisi.
ISKANDAR : Panggilah polisi, supaya kian jelas, bahwa orang-orang disini dibelenggu, menggantungkan diri kepada orang lain.
KARNAEN : Sekali lagi aku bertanya, mau pergidari sini, tidak?
ISKANDAR : Tidak!
KARNAEN : (cepat mengangkat telpon). Minta kantor polisi! –ya, ini kantor polisi? –di sini rumah makan Sambara. –saya minta bantuan polisi , supaya lekas mendatangi kamidisini.-ada yang mengganggu ketertiban, datangdisini mencari perselisihan. –dia mengejek, menghina kepada kami. –boleh jadi dia gila. –sudah, tapi dia tak mau pergi. –ya, sekarang masih ada di sini. –terima kasih! (telpon diletakkan).
ISKANDAR : Itukah keberanianmu, keberanian pelindung?
KARNAEN : Aku manusia beradab, tahu aturan, bukan karena takut menghadapi engkau.
ISKANDAR : Hh, manusia itu pakainnya saja yang bagus, tak tahu ia, bahwa itu hatinya lebih kotor dari kakus. (berjalan hendak keluar).
KARNAEN : (menghampiri seraya mengepalkan tangan). Jangan lari pengecut!
ISKANDAR : Aku manusia merdeka, tiada seorang juga yang berhak menyuruh dan menahan aku. (terus berjalan).
KARNAEN : (menjangkau bahu Iskandar). Diam!
ISKANDAR : (cepat memutar badan, meninju Karnaen).
KARNAEN : (jatuh terlentang).
ISKANDAR : (menjunjung kursi hendak membanting Karnaen).
ANI : (menjerit).
ISKANDAR : (melepaskan kursi dari pegangan, pergi keluar).

ADEGAN 15
ANI : (cepat mendapatkan Karnaen, menolong membangunkan). Sakit, mas?
KARNAEN : (bangkit memijit-mijit tangan kiri). Ya.
ANI : Oh, apa yang mesti kulakukan?
KARNAEN : Tariklah oleh kedua belah tanganmu. (mengulurkan tangan kiri).
ANI : (memegang tangan Karnaen dan menariknya).
KARNAEN : (menyeringai). Aduh! Sudah, An sudah dulu!
ANI : (melepaskan tangan Karnaen).
KARNAEN : (memalingkan muka Ani dan memijit-mijit tangan). Dapatkah selamanya engkau mengulurkan tangan kepadaku, mengindahkan suara hatiku, An?
ANI : Saya tidak mengerti, mas.
KARNAEN : (terkulai). Ya, engkau tak tahu menaruh kasihan kepadaku. (berjalan perlahan-lahan). Hanya jika aku memakai baju tentara, baru engkau mau mengindahkan cintaku.
ANI : Ah, mas, saya kian tidak mengerti.
KARNAEN : (duduk di kursi, membelakangi Ani). Bukankah orang seperti Suherman yang kau indahkan dankkau anggap laki-laki yang patut kau serahi baktimu?
ANI : (tertunduk). Mengapa mas sampai kesana pula?engkau kusayangi, mas, kusayangi sebagai adik terhadap abang. Tak nyana bila Suherman mas anggap sebagai saingan.
KARNAEN : (diam merengut memijit-mijit tangan).
ANI : (mengulaikan kepala).

ADEGAN 16
POLISI : (masuk). Tadi ada telpon dari sini ke kantor polisi.
KARNAEN : (bangkit). Benar, saya yang telpon.
POLISI : Mana orangnya yang mengadakan keonaran itu?
KARNAEN : Sudah pergi setelah meninju saya pula. Tapi kalu dicari, dia belum jauh larinya. Dia mesti tertangkap, tuan. Mesti, sebab tangan saya sampai sakit begini.
POLISI : Sebelum dia meninju tuan, apa yang dilakukannya disini, sampai tuan tadi menelpon kami?
KARNAEN : Menghina nona itu. Saya tidak tahu bagaimana menghinanya, Cuma ketika saya datang disini, kedapatan mereka sedang bertengkaran kata. Sebagai orang disini, saya lalu menyuruh orang itu pergi meninggalkan tempat ini. Tapi membatu, sampai terpaksa saya menelpon polisi.
POLISI : (kepada Ani). Nona dihina bagaimana oleh orang itu?
ANI : Sebenarnya orang itu sudah sering datang disini, tapi tidak selalu datang untuk belanja. Begitu pula tadi, datangnya hanya untuk duduk di atas meja. Ketika saya cela perbuatannya, dia malah terus mencela pekerjaan saya, caranya seperti di rumah sendiri terhadap bujangnya, dengan mengeluarkan kata-kata yang tak patut dikatakan.
POLISI : Apa katanya kepada nona?
ANI : Bahwa saya disini menjual kecantikan, bahwa saya disini jadi pendusta, penipu. Lagipula ia berkata dengan marah-marah.
POLISI : Nona tidak bersikap apa-apa terhadap dia?
ANI : Saya usir, tapi dia membatu.
POLISI : Tidak ada sangkaan, kalau-kalau orang itu gila?
KARNAEN : Boleh jadi dia setengah matang, sebab pakaiannya juga sudah tak keruan, rambutnya kusut, mukanya seram.
POLISI : Tidakkah orang itu memakai celana hitam, bajunya putih sudah kotor disebelah punggungnya?
KARNAEN : Ya, betul dia.
POLISI : Badannya tinggi kurus?
KARNAEN : Ya.
POLISI : Pelancongan! Tapi dia mudah dicari.

ADEGAN 17
SUDARMA : (masuk diiringkan Usman). Who, ada apa?
KARNAEN : Pelancongan membikin keonaran disini.
SUDARMA : Lantas?
KARNAEN : Ya, polisi ini hendak menguruskannya.
SUDARMA : Mana orangnya sekarang? Kok, berani benar membikin keonaran di rumah makanku. Apa yang dilakukannya disini?
KARNAEN : Dia menghina Ani, meninju saya dan terus lari, karena itu (kepada polisi) akan tuan cari bukan?. Sebab saya tidak merasa puas.
POLISI : Kalau betul orang itu sebagaimana yang saya lukiskan tadi, niscaya saya dapat mencarinya. Kami dari pihak polisi sudah tahu dimana dia sering ada.
KARNAEN : Saya rasa, betul, tak salah lagi dialah orangnya.
POLISI : Baik, tuan, saya akan menjalankan kewajiban. Jika ia sudah diketemukan, nanti tentu dibawa kemari. Dalam satu jam ini, jangan tuan dan nona pergi dulu dari sini, sebab bagaimanapun juga, dalam satu jam ini saya akan datang lagi kesini memberi kabar.( melangkah hendak keluar).
SUDARMA : Nanti dulu! Sebagai yang punya rumah makan , saya memberatkan pengaduan anak saya itu, sebabbagaimanapun juga, orang yang membikin keonaran disini berarti hendak merugikan perusahaan saya, bukan?
POLISI : Betul.

SUDARMA : Nah, dari itu saya sangat mengharap, supaya dia lekas tertangkap, inign segera kulihat batang hidungnya.
POLISI : (terus pergi keluar).
SUDARMA : (berjalan menuju meja tulis). Ada-ada saja, rumah makanku mau dijadikan tempat adu tinju. (kepada Karnaen). Tapi tidak engkau yang salah?
KARNAEN : Kalau saya yang salah, saya tidak akan berani menelpon polisi.
USMAN : Bagaimana sih, asalnya?
KARNAEN : Dia orang setengah matang, paman. Mulanya datang disini mendapatkan Ani, waktu saya tidak ada. Ketika saya datang disini, kedapatan Ani dan dia sedang bertengkaran kata.
USMAN : O, begitu? (kepada Ani). Apa yang ditengkarkannya, An?
ANI : Dia mnghina saya, mengganggu saya.
USMAN : Tapi begitulah selama engkau tidak kawin. Engkau akan selalu diganggu orang, akan selalu merasa tidak aman. Karena itu kunasihatkan, supaya lekas saja kawin. Orang kawin nyata mendekati keselamatan, menjauhi kecelakaan. Tidak sia-sia Tuhan mengadakan aturan mesti kawin kepada umatnya.
ANI : Tetapi itu bukan lantaran saya tidak kawin, paman. Orang itu tidak sopan saja , boleh jadi setengah matang.
USMAN : Kalau engkau punya suami, kan tidak akan ada lagi laki-laki yang mau mengganggu engkau.
SUDARMA : (menghitung uang di atas meja tulis). Tapi kalau dia sudah kawin, berarti akan meninggalkan pekerjaan disini. Itu tak hendak kuijinkan.
USMAN : Apa alangannya setelah kawin dia tetap bekerja disini? Dengan begitu malah memberi kesucian kepada rumah makan ini, sebab nanti tidak akan ada lagi laki-laki yang datang disini dengan maksud hanya main-main dengan Ani. Betul tidak, An?
ANI : Betul juga, paman.
USMAN : Nah, kawinlah! Jangan jauh mencari suami, kawinlah dengan Karnaen.
KARNAEN : Tidak, paman. Dia sudah ada mempunyai pemuda yang diidam-idamkannya.
USMAN : Lho, siapa?
KARNAEN : Suherman, kapten tentara.
USMAN : Ah, kukira dia akan kawin dengan kamu.
SUDARMA : Mentang-mentang engkau kyai, engkau dimana-mana terus saja menganjurkan kawin kepada orang yang belum kawin. Seperti engkau saja yang nanti hendak membelanjai ongkos rumah tangga suami isteri itu.
USMAN : Aku bicara atas nama pagar keselamatan.
SUDARMA : Nanti dulu, jangan membicarakan kawin. Kawin perkara gampang, asal si laki-laki sudah ada uang, tinggal jadi (kepada Ani). Tapi, An, tadi tidak ada telpon untukku?
ANI : Ada.
SUDARMA : Dari siapa?
ANI : Saya lupa menanyakan dari siapa-siapanya.
SUDARMA : Kok lupa! Kan tadi aku berat berpesan supaya yang menanyakan aku, mesti kau catat dan ditanya apa keperluannya. Jika begitu, sia-sia saja aku menggaji orang disini.
ANI : (menundukkan kepala).
SUDARMA : Itu berarti melalukan keuntungan. Sebab orang yang menelpon itu sudah pasti berurusan dagang.
ANI : Saya tadi…… sedang kacau ingatan+.
SUDARMA : Ah, kacau ingatan! Hanya yang sakit rohani, kacau ingatan.
USMAN : Memang sudah biasa, kacau ingatan itu jadi penyakit orang yang belum kawin.
ANI : (menyapu-nyapu mata).
USMAN : Mengapa engkau menangis, An? (menghampiri).
ANI : Saya……… saya ingat kepada nasib, paman.
USMAN : Tapi mengapa mendadak sekali?
ANI : Saya ini sendiri di dunia, tak ibu, tak bapa. (sedih). Dan orang yang saya anggap tempat menumpangkan diri, ternyata tidak sayang. (mengisak).
USMAN : (menyapu-nyapu rambut Ani). Sabar, nak, sabar. Orang sabar dikasihani Tuhan…….
KARNAEN : (pergi kearah pintu keluar).
SUDARMA : (tercengang memandang Ani).

ADEGAN 18
SUHERMAN : (masuk heran memandang).
KARNAEN : (melihat kepada Ani, melihat kepada Suherman). Dia menunggu saudara, kapten Suherman.
SUHERMAN : Menuggu saya bagaimana? Ada apa sih yang terjadi di sini? Ada apa yang terjadi, An?
ANI : (menyapu mata). Tidak… tidak ada apa-apa.
SUHERMAN : Saya tidak mengerti. (kepada Karnaen). Apa maksud saudara dengan dia menunggu saya itu?
KARNAEN : Bukankah saudara cinta kepadanya?
SUHERMAN : Tapi apa salahnya saya mencintai dia?
KARNAEN : Cinta saudara tentu tidak hanya cinta saja.
SUHERMAN : Ya, lantas?
KARNAEN : (memandang kepada Usman).
USMAN : Begini, anak muda. Menurut kebiasaan, cinta itu adalah bunga dari perkawinan. Jadi……
ANI : (menyembunyikan muka dibelakang kedua belah tangan). Sudah! Sudah! Jangan aku terus diombang-ambingkan. (mengisak).
SUHERMAN : Rupanya saya datang disini sangat tidak kebetulan. Lebih tidak kebetulan lagi, karena baru sekali ini saya mendengar orang hendak turut campur dengan cinta saya. Dalam cita-cita saya, saya datang disini akan menemui kebahagiaan, tapi tenyata malah disambut dengan hendak didikte, bahkan rupanya hendak disuruh kawin. Saya bantah perkataan yang menyatakan, bahwa cinta itu bunga dari perkawinan, saya tentang anggapan saudara-saudara yang memandang saya rendah, menyamakan saya kepada anak kecil yang dimestikan menelan segala yang disuapkan kedalam mulutnya.
USMAN : Ah, kamipun tidak memandang rendah kepada tuan.
SUHERMAN : Orang menyuruh saya kawin itu tidak memandang rendah, tidak menganggap saya ini orang tolol yang tidak tahu arti cinta kepada perempuan? Tidak, saya tidak merasa senang dengan perkataan saudara. Saya malah merasa dihina.
USMAN : Saya juga tidak hendak menyuruh kawin.
SUHERMAN : Habis? Sangka saudara, saya mencintai perempuan itu untuk kawin?
USMAN : Maksud kami tidak begitu, tapi……
ANI : Sudah! Sudah! Saya tahu bahwa orang hanya suka kepada senyumanku, tidak suka kepada air mataku. (menangis pergi ke belakang).
SUHERMAN : Betul-betul datang saya disini sial! (melangkah).
SUDARMA : Nanti dulu, tuan. Duduk-duduklah dulu. Minum kopi susu atau susu coklat? Nanti Ani melayani tuan.
SUHERMAN : Tidak, saya tak mau minum apa-apa dan tak akan datang lagi di sini. Selamat tinggal! (terus berjalan keluar).
SUDARMA : (kepada Usman). Engkau juga yang mengacaukan. Engkau menghendaki keselamatan, tapi sikapmu mengacaukan, merugikan rumah makanku. (mengeluarkan surat-surat dari dalam tas, duduk menghadap meja tulis). Rumah makanku mau dijadikan tempat tukang gado-gado. Seperti tiada lagi soal yang lebih penting dari perkara kawin! (menyusun surat-surat). Hh, kawin! Kawin!
USMAN : (mengambil botol limun dari lemari, menuangkan isinya kedalam gelas, lalu duduk, minum).

ADEGAN 19
POLISI : (masuk mengiringkan Iskandar).
KARNAEN : (berdiri menyambut).
POLISI : (kepada Karnaen). Betul ini, orang yang tuan maksudkan itu?
KARNAEN : Ya, betul.
POLISI : Tapi, mana nona yang tadi?
KARNAEN : Ada di dalam (kepada Usman). Coba panggil dia, paman.
USMAN : An! Ini polisi datang! Kesini kau sebentar.
ANI : (tampil dengan perangai kusut).
POLISI : (kepada Ani). Inikah orang yang tadi menghina nona itu?
ANI : (hampir tak kedengaran). Ya.
POLISI : (kepada Iskandar). Tadi engkau sudah datang di sini dan mengadakan keonaran di sini. Engkau sudah menghina nona itu dan meninju tuan ini. Betul tidak?
ISKANDAR : Saya meninju dia, sebab dia hendak menahan saya di sini.
POLISI : Menahan bagaimana?
ISKANDAR : Saya mau pergi dari sini, tapi mengapa dia memegang bahu saya?
KARNAEN : Sebab dia hendak lari meninggalkan dosa, mencela mengejek perbuatan saya menelpon polisi. Dikatakannya bahwa hati saya lebih kotor daripada kakus.
POLISI : (kepada Iskandar). Betul engkau pernah berkata begitu?
ISKANDAR : Ya, sebab saya merasa sebal, mengapa setelah dia turut campur dengan urusan saya dan perempuan itu, lalu membawa-bawa polisi pula.
KARNAEN : Tapi saya menelpon polisi, setelah dia takmau diusir, setelah saya peringatkan pula, bahwa bila dia tidak mau pergi, saya akan minta bantuan polisi. Saya menelpon polisi sebagai orang yang tak mau berselisih, sekalipun dia sudah seakan-akan menantang berkelahi dengan mengejek menyebut tak sedap melihat muka saya.
ISKANDAR : (tajam menatap mata polisi). Saya akan ditahan?
POLISI : Ya.
ISKANDAR : (dalam mulut). Akibat perempuan…… pendusta, penipu.
POLISI : Jangan ngomel lagi. Ayo, kita pergi!
ANI : (bangkit dari duduk). Nanti dulu!
POLISI : Ada apa lagi, nona?
ANI : Mengapa dia disalahkan?
POLISI : Who, kan kata nona tadi dia menghina nona. Itulah salah satu dari kesalahannya.
ANI : Tidak! (maju ke depan). Dia tidak salah. Sayalah yang salah. Kalau harus ditahan, sayalah yang mesti ditahan. Jangan dia, sebab dia tidak bersalah.
POLISI : Salah bagaimana?
ANI : Saya tadi tidak terus terang, bahwa saya sesungguhnya….. sesungguhnya dia tidak menghina saya. Sebaliknya, saya yang menghina dia.
POLISI : (memandang orang lain). Jadi…. Jadi perkataan nona tadi, bahwa dia menghina nona itu tidak benar?
ANI : Ya.
POLISI : Tidak benar dia sudah melahirkan ejekan, menyebut penipu dan sebagainya kepada nona?
ANI : Betul dia berkata begitu, tapi tadi saya dungu, tidak mau terus terang, bahwa sebenarnya…… sebenarnya apa yang dikatakannya itu mengandung kebenaran, bahwa sebenarnya saya sudah dusta kepada diri sendiri dan kepada orang lain.
POLISI : Jadi nona sekarang merasa puas, sehingga urusan ini tidak perlu dilanjutkan?
ANI : Ya.
KARNAEN : Tapi saya belum puas dan minta supaya perkara ini dilanjutkan.
ANI : Boleh dilanjutkan juga, dan saya sedia masuk bui.
POLISI : (kepada Karnaen). Soal ini jadi soal remeh yang tidak perlu dibawa keatas, tuan. Asal antara tuan dan dia tidak ada lagi perasaan apa-apa (kepada Iskandar). Engkau masih dendam kepada tuan ini?
ISKANDAR : Buat apa dendam kepadanya, terikat oleh lolongan anjing di tepi jalan hidupku?
POLISI : Maksudku, mau engkau dantuan ini maaf-memaafkan?
ISKANDAR : Sejak saya meninggalkan dia tadi, dia sudah kumaafkan.
POLISI : (kepada Karnaen). Dia sudah mengatakan begitu, tuan. Tinggal pihak tuan.
KARNAEN : (melihat kepada orang lain).
POLISI : Tuan mau memaafkan dia atau tidak?
KARNAEN : (perlahan-lahan). Ya, saya maafkan.
RUKAYAH : (masuk, heran memandang).
POLISI : Perkara ini sudah beres, (kepada Iskandar). Engkau boleh pergi, tapi perhatian polisi kepadamu lebih daripada waktu yang lalu, terutama sebelum engkau mengubah laku sebagai pemalas, engkau akan terus diperhatikan polisi.
SUDARMA : Awas! Sejak sekarang, engkau tak boleh datang lagi disini. Sekali lagi engkau berani melancong kesini mendekati nona itu, akan kau tahu rasanya nanti.
ISKANDAR : (melangkah hendak keluar).
ANI : Nanti dulu!
ISKANDAR : (berhenti berjalan memandang Ani).
ANI : Tunggu dulu! (pergi ke belakang).
KARNAEN : (berdiri memandang Ani).
POLISI : Dia mau apa lagi?
SUDARMA : (tercengang). Entahlah!
RUKAYAH : (menghampiri Usman). Ada kejadian apa, paman?
USMAN : Walahualam. Kita lihat saja.

ADEGAN 20
ANI : (tampil membawa koper).
USMAN : Mau kemana, An?
ANI : Saya mau keluar dari sini.
SUDARMA : Nanti dulu! Nanti dulu! Jangan tergesa-gesa begitu, An. Siapa yang menyuruh engkau keluar dari sini? Aku sayang kepadamu dan berjanji akan menaikkan gajimu, asal jangan pergi dari sini.
ANI : Tidak! Saya tak hendak diikat lagi. Saya mau hidup merdeka.
SUDARMA : Ah, merdeka, merdeka bagaimana? Nanti engkau sukar mencari lagi pekerjaan, mencari kesenangan seperti di sini.
ANI : Saya tidak senang di sini, karena itu saya mau pergi. Saya harus jauhi segala kepalsuan dalam rumah makan ini, dan akan pergi bersama orang jujur.
SUDARMA : Orang jujur? Siapa?
ANI : (menunjuk Iskandar). Dialah yang jujur.
ISKANDAR : (tegak memandang Ani).
SUDARMA : Dia jujur katamu? Dia pelancongan, An! Jangan matamu melek, tapi tidak melihat.
ANI : Mata saya melek dan melihat, bahwa kebenaran ada padanya. Dia betul tidak bekerja, tapi (kepada Iskandar). Jika engkau sudah tidak merasa sendiri lagi di dunia, akan mau engkau bekerja?
ISKANDAR : Ya, tentu.
ANI : Mau engkau hidup bersama aku?
ISKANDAR : Mengapa tidak?
ANI : (kepada Sudarma). Gaji saya yang belum dibayar, saya minta supaya dihadiahkan kepada fakir miskin. (kepada Karnaen). Mas, saya doakan, mudah-mudahan mas segera mendapatkan istri yang cakap mengurus rumah tangga. (pada Rukayah). Ruk, aku akan pergi!
RUKAYAH : (memegang tangan Ani). Tak salah kiranya kataku tadi, An.
ANI : Bukan, Ruk, aku yang sekarang bukan lagi aku yang tadi kau sindir. Aku akan berhenti main sandiwara dan akan pergi bersama musuh-tapi-kawanku, mengawani dia sebagai perempuan yang akan berjuang berdampingan.
RUKAYAH : Engkau berkata lain dari tadi. Jika tadi aku mengatakan iri padamu untuk menyindir belaka, sekarang aku mengiri padamu dengan sesungguh-sungguhnya.
ANI : Tapi, Ruk, apa yang mesti kau irikan, kalau aku sekarang masih juga aku yang tadi? Marilah kita pergi bersama.(melangkah).
ISKANDAR : Kopermu, tidak berat?
ANI : Mau kau bawa?
ISKANDAR : Ya, sebagai laki-laki.
ANI : (menyerahkan koper).
POLISI : Nah, jika begitu engkau tidak malas, tidak lagi dicurigai polisi.
USMAN : Nanti dulu! Kamu berdua akan kawin?
ANI : Bisa jadi, paman.
USMAN : Jika demikian, kusampaikan doa, moga-moga kamu berdua dilindungi dan dikaruniai Tuhan selalu.
ANI : Mari, Ruk, kita pergi! (berjalan keluar disampingi Rukayah, diiringkan Iskandar).

ADEGAN 21
POLISI : (menepuk dahi). Bingung juga kepalaku memikirkan mereka! (pergi keluar).
SUDARMA : (kepada Usman). Engkau juga yang jadi gara-gara semuanya ini. Engkau dengan anjuranmu : kawin! Kawin!
USMAN : Tapi aku menganjurkan kawin, tadinya aku mau menolong anakmu.
SUDARMA : Bah! Menolong apa?
USMAN : Anakmu sudah lama ada cita-cita mau memperistrikan Ani. Dia minta tolong kepadaku supaya Ani mau kawin dengan dia.
SUDARMA : (kepada Karnaen). Betul, Karnaen?
KARNAEN : Ya, saya yang sial……


LAYAR
Priangan, Januari 1947